Langsung ke konten utama

Jalan Bapak



Rokok ke tujuh yang saya hisap belum habis. Obrolan tetap hangat, tidak dingin seperti kopi yang ada dihadapan saya. Itulah nikmatnya melakukan ritual cangkruk. Berbincang dengan tema dan waktu tanpa batas di sebuah warung kopi adalah suatu kebiasaan yang tak mungkin lewat dalam keseharian saya. Ya, ada juga yang bilang cangkruk hanya membuang waktu. Atau, ada pula seorang dosen yang mengatakan bahwa; Cangkruk itu hanya dilakukan oleh mereka yang malas dan masih bermental budak...”. Oiya...juga mereka yang hidup tanpa tujuan, lanjut dosen itu dalam sebuah kelas pada masa awal saya kuliah.


“Apa yang salah dengan cangkruk?” pikir saya bertahun-tahun setelahnya. Saya dan teman-teman menjadi konsumen warung kecil yang pemiliknya adalah kaum papa. Kami tidak cangkruk di kafe-kafe atau di gerai kopi asal luar negeri. Ketika cangkruk pun, orolan kami seputar berita-berita di televisi yang kerap diisi oleh keganjilan ulah para pemimpin di negara ini. Atau, saya kerap menjadikan cangkruk sebagai wahana mendengarkan curhat seorang teman yang sedang bermasalah. Cangkruk kami tidak biasa dan sangat jauh dari hura-hura.

Ya, cangkruk yang bertahun-tahun saya nikmati adalah bukti bahwa masyarakat kita masih belum sepenuhnya individual. Masih ada wahana untuk berbagi kesah. Dan yang paling tak terlupakan adalah cangkruk merupakan ajang untuk berdebat, mengasah dan menambah ilmu serta tentu saja menjadi penikmat kopi yang baik. Seorang teman sering berkata; Lewat cangkruk, ide-ide besar sering bermula. Bahkan, konon di era Pak Harto dulu, para aktivis berbagi ide dan merancang gerakan dari warung kopi.

Tiba-tiba, mata saya menjadi dingin. Perlahan, ada yang mengalir berangsur beku dalam hati. Padahal obrolan saat itu sedang panas-panasnya. Rokok saya yang ketujuh sekejap lepas dari jepitan telunjuk dan jari tengah. Dari arah barat warung tempat saya cangkruk, sebuah gerobak datang. Saya membaca tulisan Mie Ayam berwarna kuning golkar. Setelah memarkir gerobak itu, pendorongnya lalu masuk warung. Melepaskan topi dan tersenyum ramah pada hadirin yang ada disana. Ya ampun, penjual mie ayam itu lagi, batin saya berdesir.

Ya, saya sangat sering melihat penjual mie ayam yang satu ini. Namun saya tak pernah membeli dagangannya. Saya kurang begitu suka mie. Tidak mengenyangkan.

Penjual mie ayam itu beredar di sekitar Jalan Jawa. Atau saat siang, dia sering mangkal di samping Warnet Maxima. Kalau sedang ada duit agak banyak, saya ke Maxima pada siang hari. Tiap itu pula, saya pasti melihat penjual mie ayam dan gerobaknya.

Entahlah, tiap kali melihatnya seolah ada yang mengiris-iris hati dengan es batu yang tipis dan tajam. Maka dari itu, kadang saya memutar arah saat pulang dari kampus untuk tidak bertemu dengannya. Padahal, Jalan Jawa adalah penghubung yang sangat dekat antara kos dan kampus.

Siang itu, sang penjual mie ayam ada di hadapan saya. Ingin rasanya keluar warung. Tapi posisi badan tidak memungkinkansaya diapit oleh dua orang teman yang sedang asyik berbicara. Selain itu, tak nyaman rasanya jika keluar warung saat ada orang yang baru datang. Saya putuskan untuk bertahan sekira 10 menit lagi. Tapi, keputusan saya itu tak mewujud sama sekali. Mata saya menatap lekatwalau tetap saya usahakan agar tidak kentarake wajah penjual mie ayam itu.

Bibirnya yang agak tebal berada dibawah kumis yang sangat rimbunseperti kumis milik Andi Mallarangeng yang diidolai kaum ibunamun tidak tertata rapi. Kulit yang coklat tua sisa bakaran matahari menjadi alas bagi garis-garis wajah yang kian nampak karena keriput. Dan satu lagi, matanya...Mata itu tak merekah, tanda deraan lelah yang seolah tanpa henti. Lengkap sudah. Penjual mie ayam itu mirip sekali dengan bapak saya. Hanya saja tubuhnya tidak gemuk dan rambutnya belum putih keseluruhan. Sejak pertama bertemu dengannya, saya makin percaya dengan teoriyang tak jelas sumbernyabahwa ada 10 orang di dunia ini yang memiliki kemiripan wajah.

***

Jalan hidup bapak adalah lereng bukit batu yang terjal. Saya ingat betul, ketika itu saya masih duduk di kelas enam SD. Mama meminta saya untuk berangkat ke Jakarta seorang diri, katanya, Bapak kamu sakit. Setelah gonta-ganti bus dan satu kali naik feri di penyeberangan Bakauheni-Merak, saya tiba di RSCM. Di tempat itulah bapak terbaring lemah setelah dua hari sebelumnya jatuh dari sepeda motor sebab ojek yang ditumpanginya tak berdaya menampung beban dari tubuh bapak ketika akan menyeberangi rel.

Tak bisa lekang dari ingatan, saat itu adalah masa dimana saya mengetahui dengan pasti bahwa bapak memiliki istri bukan hanya Mama. Bapak membangun keluarga pula bersama tiga perempuan. Untuk pertama kalinya, saya bertatap muka dengan beberapa anak bapak. Hati siapa yang tak remuk redam kala itu? Sayayang saat itu masih bocah berusia 12 tahunhanya mampu berairmata dalam hati. Itulah sebabnya, saya tidak pernah bisa langsung memperlihatkan rapor setelah dibagikan oleh wali kelas. Dan...ini juga yang menyebabkan bapak hanya pulang ke Metro dua minggu sekali, renung saya tak pecah di mulut.

***
Entahlah, sekira tiga tahun dari kejadian di RSCM itu, saya sempat benci dengan bapak. Namun, ketika menimbang ulang, rasa bangga kepada bapak malah muncul di hati saya.

“Walau bapak punya empat istri, semua anaknya tidak ada yang tidak lulus SMU, kata salah satu anak bapak saat saya berkunjung ke Jakarta di masa SMU. Ia juga mengakui bahwa anak-anak bapak yang berada di Tangerang, Depok dan Rawasari sering bertemu jika ada acara khusus. Keluarga Depok tuh yang paling sombong. Mentang-mentang anaknya ada yang kerja di Garuda, cibirnya kemudian.

Terus saja saya merenung. Kenapa saya harus membenci bapak? Saya tidak pernah satu kali pun melihat bapak memukul Mama. Bahkan berkata dengan kalimat kasar pun tak. Satu hal lagi, sebelas saudara kandung saya memiliki panggilan yang sama untuk lelaki itu: bapak. Sementara untuk istri bapak, tiap keluarga memiliki panggilan beragam. Saya panggil Mama, keluarga di Tangerang panggil Mami, keluarga di Depok panggil Bunda sedangkan keluarga Rawasari panggil Ibu. Seluruh anak bapak mengetahui bahwa istri bapak ada empat. Bapak tidak seperti para lelaki yang hobi menyimpan perempuanhingga saat sudah bosan maka ditinggalkan. Apa alasan saya, akhirnya, membenci bapak?

Ketika merantau jauh dari Mama dan bapak, saya makin tersadarkan bahwa saya memang harus bangga dengan bapak. Saya sering membayangkan betapa sulit kehidupan bapak dengan empat istrinya. Kesulitan itu tentu saja dalam hal membagi keadilan, sesuatu yang saya pahami hanyalah milik Tuhan. Namun, saya juga percaya bahwa manusia hanya mampu sebatas mengusahakannya terwujud. Bohong jika saya mengatakan bahwa bapak telah adil kepada istri dan anak-anaknya. Tetapi, saya juga tahu bahwa bapak selalu berusaha memberi keadilan kepada kami.

Saya mengetahui bahwa semua istri bapak adalah perempuan yang bekerja diluar rumah. Jadi penghasilan tiap keluarga berasal dari suami dan istri. Walau tentu saja, penghasilan yang berasal dari suami tak dapat diberikan utuh kepada satu keluarga.

Tetap saja ada mengkhawatirkan saya dengan kondisi bapak. Seorang teman pernah bercerita kalau lelaki yang bapaknya memiliki istri banyak, biasanya akan turut pula seperti itu. Yahh...Buah pasti jatuh tak jauh dari pohonnya toh?, kesimpulannya saat itu. Atau fakta-fakta yang menunjukkan bahwa kenakalan anak muda selalu didominasi oleh mereka yang berasal dari keluarga broken homeyang sebabnya tentu identik dengan ‘kenakalan’ suami.

Jalan bapak berbeda dengan kebanyakan lelaki yang memiliki banyak istri. Ada tanggungjawab yang dengan keras coba diperlihatkan pada anak-anaknya. Keterbukaan dan kepedulian adalah ciri yang berusaha dibangun bapak dihadapan anak-anaknya. Setelah peristiwa di RSCM itu, bapak pernah mengajak saya berbincang soal kondisi dirinya. Ya, waktu itu saya masih marah dengan kenyataan hingga omongan bapak hanya masuk kuping tanpa menyangkut di otak. Untungnya, saya mampu berpikir agak jernih. Itulah sebabnya saya tidak terjerumus ke barang terlarang sebagai pelepasan emosi. Kenapa harus memakai narkoba karena mengetahui bapak punya istri selain ibu kita? Kenyataan tak bisa diubah. Tiada yang harus disesali. Lagipula, bapaklah yang melakukan poligami, bukan saya. Namun, harus ada yang diperbaiki. Saya tidak mau mengikuti jalan bapak. Jalan terjal itu hanya bisa ditempuh oleh bapak. Saya tidak membencinya. Hanya saja, saya sudah berpikir serius bahwa saya tak akan bisa memiliki istri lebih dari satu.

Bapak mampu menghadirkan contoh yang baik melalui sesuatu yang dipandang miring oleh orang lain. Dan jika ada tiga amalan dari seorang manusia yang tak akan putus walau telah meninggal. Saya akan menyambung amalan bapak pada dua bentuk saja. Dengan beristri satu, saya akan menumpahkan seluruh perhatian kepada anak yang lahir dari istri sayasatu hal yang tak bisa dilakukan bapak. Saya mendapatkan ilmu memberi perhatian pada anak dari bapak. Dan saya pasti punya cukup banyak waktu untuk mendoakan bapak dan Mama.

***

Sudah muter kemana aja, Pak?, akhirnya saya bertanya kepada penjual mie ayam itu.
“Ah, sekitar sini aja, Dik”
“Wah kayaknya sudah laris, Pak”
“Ah, belum...”
“Rumah sampean dimana, Pak?”
“Ini, di Jalan Sumatera Gang tiga”
“Oh..deket sini ya, Pak. Anaknya berapa, Pak?”
“Tiga...”
Mulut penjual mie ayam itu terlihat akan mengeluarkan kata-kata lagi. Saya buru-buru bertanya kembali; Kalau istri ada berapa, Pak?. Apa, Dik? Hahaha...Ya cuma satu.. Obrolan kami terus berpacu dengan silang suara orang lain di warung itu. Ia bercerita tentang kampung asal sampai kisahnya datang ke kota ini pertama kali. Saya akhirnya memesan mie yang ada di gerobaknya.

Selepas kejadian siang itu, saya selalu makan mie ayam kalau dompet agak tebal. Saya melahap mie sambil menatap penjualnya. Membayangkan wajah bapak dan jalan berliku yang telah dipilihnya untuk menapaki kehidupan.(*)

(ditayangkan di Kolom Cerpen Harian Seputar Indonesia, 20 Juli 2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D. "Darimana?" Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok. Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.