Langsung ke konten utama

Malang

 /1/ Hujan

Aku kembali berdiri menatapnya. Tingkat dua dari bangunan ini ialah saksi pembicaraan yang selalu terjadi ketika dia datang. Ia memang tak berkata-kata. Akulah yang terlalu sering meneriakinya; "Ayo, beri aku yang lebih dari ini." Namun, ia seperti tak pernah lelah untuk diam. Butir-butir air yang kutatap hanya kian menegaskan perasaanku saja. Untuk itulah, aku senang berbicara dengan hujan.

Dari gedung berlantai dua ini, aku bisa sangat puas menatap sebuah kejatuhan. Mataku bagai kamera yang menangkap suatu objek. Satu butir air hujan itu akan kulihat sampai jatuh. Kalau hujan baru turun, jatuhnya butiran air itu bagai berdebum menebaskan debu di tanah. “Uh...”, mulutku sering tiada sengaja berucap, “sakit sekali kejatuhan itu”.

Lain hal jika tanah telah becek; tanda hujan bukan lagi sedang menyapa tapi telah menusuk-nusuk tanah. Butiran hujan yang jatuh seperti mengusir kawan-kawannya yang telah lebih dulu sampai di tanah. Seolah butiran itu berkata dengan keras, "Minggir, aku butuh tempat."

Aku sangat takut kalau harus jatuh seperti butiran-butiran hujan itu.

Hujan pula yang sering membawaku pada kenangan tentang sebuah kota. Inilah yang paling aku suka. Lebih baik kenangan itu keluar saat aku sedang sadar. Aku tak pernah berharap kenangan itu menyambangi ketika aku terlelap. Aku tak suka bermimpi. Aku merasa beruntung sekali bisa berbicara dengan hujan. Walau hujan selalu diam menanggapi seluruh ucapanku.

"Kota ini menjadikan hujan sebagai atapnya," kata lelaki yang kini menjadi suamiku.

“Jangan gombal kamu, Mas."

Sebelum kami diikat pernikahan, aku memang benar-benar alergi membincangkan hal yang tak berkaitan dengan hubungan kami.

"Kalau mau membahas teologi lingkungan jangan sekarang. Nanti malam saja. Kamu ‘kan biasa diskusi dengan teman-teman organisasimu yang sok idealis itu," ucapku ketus.

"Eh, aku nggak bohong. Lagian siapa yang ngajak kamu diskusi? Aku cuma pengen kasih tau kelebihan dari kota tempat kita kuliah ini”

"Hujan kok dibilang kelebihan. Lebih air?!”

"Ya, di kota ini, hujan datang tiap hari. Jadi, masyarakatnya lebih siap. Tak ada air hujan yang mampet di got. Orang-orang nggak pernah buang sampah di sembarang tempat. Selain itu, hawa juga lebih sejuk. Nggak panas, nggak dingin. Pokoknya aku senang kuliah di kota ini.”

"Ya Mas, terserah kamu aja, aku mulai malas berbicara dengannya, “Omonganmu barusan nggak ada hubungannya dengan kita.”

"Loh, ada hubungannya. Kalau kota ini nggak ada, kita nggak bakal ketemu," jawabnya sambil menyeringai.

"Huh...yang ini baru gombal," sahutku cepat. Setengah kesal, separuh malu. Aku tak mampu menutupi kebahagiaanku setelah bertemu dengan lelaki itu.

Masih banyak lagi kenangan indah yang dibawa oleh hujan kepadaku. Dan dalam tiap kenangan yang mampir kembali di otakku, lelaki itu selalu hadir.

"Hujan, tahukah kamu bahwa kenangan yang sekarang indah itu saat sedang terjadi tak demikian adanya?”
Hujan tak menjawab. Ia terdiam sambil terus memberi arsiran yang indah untuk dilihat oleh mataku.

"Aku bukan komunis. Toh, PKI sudah gagal pakai cara revolusi di negara ini. Kenapa harus diikuti? Ah, aku belum tolol. Kau tahu itu?!”

"Tapi kata mereka, organisasi yang kamu ikuti itu berhaluan komunis. Makanya selalu pakai kata progresif di tiap pamflet yang kalian sebar di kampus." Aku tak mampu menahan tangis. Bingung dan kesal karena merasa dibohongi oleh lelaki itu silang-sengkarut di hatiku.

Itu semua karena orang-orang yang berada satu organisasi denganku berkumpul untuk memberi nasehat agar aku berhati-hati terhadap lelaki itu. Kupingku sangat panas mendengar celoteh mereka yang isinya selalu menghina dirinya. Aku bagai disidang oleh teman-temanku sendiri atas nama solidaritas. Mereka tak ikhlas kalau aku harus berhubungan dengan lelaki itu.

"Aku sudah bilang, Mas. Tapi mereka tetap yakin kalau kamu komunis," suaraku serak. Kepalaku tetap tertunduk.

"Ya sudah. Sekarang, menurutmu, apakah aku komunis?" Tangannya membelai pundakku.

"Bukan”

"Begini saja, kamu pilih aku atau teman-temanmu?”

Aku memilih lelaki itu. Aku tak aktif lagi di organisasi yang sempat mendaulatku sebagai pengurus harian, jabatan yang membuatku punya kegiatan selain kuliah. Segera setelahnya, setiap hari, aku bagai dihujani omongan yang mengatakan bahwa aku telah keliru menentukan langkah.

Ini mungkin pengorbanan untuk cinta, pikirku saat itu. Maka, aku melihat diriku sendiri seperti seseorang yang berdiri tegak di tengah lapangan sambil diguyur hujan tanpa henti. Ah, itu berlebihan saja, ucap lelaki itu setelah kuceritakan uneg-unegku.

"Tapi, sungguh Mas. Sekarang aku nggak punya kegiatan apa-apa selain ke kampus. Aku nggak tahan dengan kondisi ini.”

"Ya, nanti kalau sudah lulus, kamu kan kerja. Jadi punya kegiatan untuk terapkan teori yang kamu dapatkan di kelas”

"Itu kalau aku dapat pekerjaan yang sesuai jurusanku. Ngewujudin yang kayak gitu kan sulit, Mas”

Tapi kini, aku selalu tersenyum saat mengenang semua kejadian yang kulewati bersama lelaki itu. Setelah kami menikah, aku kian yakin bahwa pikiranku soal pengorbanan itu tak berlebihan.


/2/ Rumah
Dan saat itu, aku harus menghadapi ibu. Menjelaskan soal hubunganku dengan lelaki itu. Bahkan, aku menuntut ibu agar merestui kami untuk bersanding di pelaminan.

"Tapi, pesan almarhum bapakmu itu jelas. Kamu harus menikah dengan anak Haji Rofik," nada bicara ibu mulai meninggi.

"Lantas, untuk apa ibu menguliahkan aku? Lebih baik, ibu melarang aku kuliah. Aku dibiarkan saja di rumah sampai Erwin anak Haji Rofik itu datang melamar.”

"Oh, jadi ini buah yang kau dapat dari bangku kuliah? Makin pintar melawan ibu?! Sudah, terserah kamu saja!”

Pembicaraan antara ibu dan diriku tetap menggantung. Rumah sempat menjadi tempat yang enggan kudatangi. Tapi lelaki itu tak pernah istirahat barang sejenak. Ia terus menyokong dan mendorongku agar mau berlaku halus kepada ibu. Meluluhkan hati ibu agar hubungan kami direstui.

Restu dari ibu keluar beberapa hari setelah aku diwisuda. Pada suatu malam, ibu memanggilku. Masalah hubunganku dengan lelaki itu dibuka lagi setelah selama dua tahun sebelumnya dianggap tiada oleh ibu.

"Kamu masih terus berhubungan dengan dia?”

"Ya, Bu”

"Ya sudah. Kamu menikah saja dengan dia.”

"Maksud ibu? Ibu setuju? Terimakasih, Bu."

Tak terbayangkan girangnya hatiku malam itu.

"Ya," ibu menjawab dengan dingin.

"Tapi, kalau boleh tahu, kenapa ibu setuju?”

"Dia hebat. Ibu tahu dari orang-orang di sekitar terminal kalau dia selalu mengantar dan menjemputmu tiap kali kamu pulang ke rumah.”

Tapi rumah kontrakan kami tetap sepi walau pernikahan ini sudah 3 tahun umurnya. Kalau berkunjung ke rumah tiga kakakku, aku bisa melihat sorot mata yang cerah dari lelaki itu. Ia menikmati sekali ketika bermain dengan anak-anak yang lahir dari rahim semua kakakku.

“Masa yang bermasalah dengan fertilitas hanya kamu?" Tanya lelaki itu setelah setahun pernikahan kami.

"Kok bilang gitu sih," aku mulai sewot.

Perempuan mana yang tak menyamakan pertanyaan macam itu dengan sebuah hook yang telak?

"Abisnya, semua kakakmu bisa melahirkan. Apa betul ya, tiap keluarga yang hanya memiliki anak perempuan, bisa dipastikan salah satu anaknya ada yang sulit hamil?”

"Kamu makin ngawur, Mas. Aku capek. Mau tidur aja," Padahal mataku sulit terpejam karena ucapan lelaki itu.

Dokter yang kami datangi sungguh yakin bahwa hasil cek itu tidak salah. Kesuburan kami normal saja.

“Mungkin kalau bikinnya di pagi hari setelah bangun tidur bisa sukses," kata dokter itu sambil tersenyum kecil.

Kami ikuti saran dokter itu. Tapi tiga bulan berikutnya, tamu bulanan tetap menyambangiku.

Lelaki itu kian bingung. Sampai rahasia yang kusimpan ditemukan juga olehnya.

"Jadi, ini yang bikin semua usaha kita untuk punya anak gagal?" Suara lelaki itu keras sekali.

Tangannya menunjukkan pil KB yang ia temukan di laci lemari yang ada di ruang tamu kami. Kemudian dia membuangnya.

"Kita sudah sepakat di awal pernikahan. Punya anak satu, baru pakai kontrasepsi!"

"Kita sama-sama sibuk, Mas. Aku belum siap punya anak. Aku masih ingin menikmati pekerjaanku sekarang," suaraku pelan sekali, berharap ia tak melanjutkan marahnya.

"Alasan saja kamu ini!”

"Itu fakta, Mas. Kamu mau repot dengan anak kita? Aku belum siap, Mas!”

Oh, andai dia mau menengok lagi kenangan itu sebentar saja, maka lelaki itu bisa paham bahwa marah kepadaku sangat tak pantas.

Apa yang tak kulakukan untuknya? Jauh dari teman dan menghentikan aktifitasku di organisasi saat kuliah. Memiliki hubungan yang tak cair dengan ibu sampai aku lulus. Dan yang paling utama: menjaga kehormatanku hanya untuknya hingga bisa kuberikan di malam setelah kami resmi menjadi suami-istri. Di abad sekarang, berapa banyak perempuan yang mampu menjaga keperawanan sebelum datang padanya sebuah pernikahan? Bisa jadi ini karena prinsip hidup yang mulai berubah bagi orang-orang sekarang.
Tapi, ini juga prinsipku untuk menunda kehamilan agar bisa melewatkan lebih banyak waktu hanya berdua dengan lelaki itu. Menjalani hidup dengan prinsip ialah cara menjadi manusia berdaulat, pikirku.

Salahkah?

Hujan tak pernah menjawab pertanyaanku.

Rumahku sepi setelah lelaki itu tak ada. Sudah satu minggu ini ia tak pulang. Aku merasa, sikap lelaki itu memang berlebihan. Lantas siapa, diantara lelaki itu dan aku, yang kini bernasib layaknya butiran-butiran air yang jatuh ke tanah ketika hujan mengatapi bumi?(*)

Seputaran Gumuk Kerang, 2008

(Tayang di Majalah Wanita Femina edisi 7 - 13 November 2009)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D. "Darimana?" Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok. Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.