Langsung ke konten utama

Berkenalan Lagi dengan Chairil Anwar

Judul Buku : Chairil Anwar; Sebuah Pertemuan
Penulis : Arief Budiman
Tahun Terbit : 2007
Tebal Buku : 127 halaman
Penerbit : Penerbit Wacana Bangsa
Nomor ISBN : 979-23-9918-6

Rasanya, orang Indonesia—yang hanya menempuh pendidikan dasar sekalipun—pernah mendengar nama Chairil Anwar. Hanya mendengar, sebab perkenalan butuh ruang yang lebih luas. Lewat buku ini, Arief Budiman menuturkan Chairil Anwar melampaui sebuah perkenalan dan pertemuan, yaitu penyelaman. Buku ini, tak hanya akan terbaca sebagai sebuah usaha mahasiswa psikologi yang melongok jiwa seorang penyair. Lebih jauh, Arief Budiman mengajak menerawang jiwa sendiri melalui buku ini.


Yang istimewa dalam buku ini adalah Arief Budiman meletakkan Chairil Anwar sebagai pribadi yang tak terlalu istimewa. Membaca buku ini, kita akan tersadar bahwa menulis puisi dan menjadi penyair bisa menjadi suratan tangan tiap manusia.

Segala hal yang membalut kehidupan Chairil, juga kita temui dalam keseharian hidup ini. Satu hal, Chairil Anwar menjadi sangat terkenal karena usahanya. Buku inijuga pelbagai tulisan lain tentang dirinyaadalah ganjaran setimpal atas usahanya tersebut.

Chairil berjasa besar dalam memperbaharui seni-kesusastraan, utamanya puisi. Melalui sebuah buku tahun 1968, HB Jassin menyebutnya sebagai pelopor Angkatan 1945. Usaha Chairil yang teramat berharga adalah menyiarkan bahwa puisi adalah milik semua orang. Puisi tak harus selalu menceritakan yang besar, yang sakral dan yang agung. Jiwa kita dan segala riak-gejolak yang menyerempetnya adalah sumber ide yang hakiki.
Melalui puisi, jiwa seseorang tetaplah bisa diraba tanpa harus bertatap muka. Ada kisah tentang penyair perempuan dari Inggris. Setelah meninggal, di laci meja kerjanya ditemukan ribuan puisi. Penelaah puisi di Inggris mengulas dengan terkagum-kagum pada karyanya. Kita telah kehilangan besar selama ini, ucap seorang kritikus sastra di Inggris usai menelaah puisi penyair tersebut.

Penyair yang terkenal setelah ia wafat itu adalah Emily Dickinson. Kepada puisi, Emily yang dikenal sering menyendiri itu, mengungkapan jiwanya. Jiwa dan puisi adalah kesatuan yang begitu erat dalam diri penyair.

Buku ini hadir sebagai perwujudan lintas disiplin; didalamnya ada kajian sastra, psikologi dan filsafat. Semua kajian itu saling membahu-bantu menjelaskan beragam sisi kehidupan yang selalu dicari jawabnya oleh manusia. Chairil Anwar dan karyanya adalah representasi kejiwaan kita pula; demikian kira-kira sapaan Arief Budiman kepada pembaca buku ini.

Tetapi buku ini tetaplah semacam biografi psikologis Chairil Anwar. Hanya saja, jika buku biografi yang makin sering muncul di Indonesia saat ini selalu menempatkan tokoh yang diceritakan dengan metode puja-puji, Chairil Anwar dalam buku ini dibahas sangat kritis melalui sejumlah sajaknya.

Tafsiran tentang Chairil Anwar tetaplah diletakkan sepenuhnya kepada pembaca. Ungkap Arief Budiman: Karena yang paling penting bukanlah benar atau tidaknya pengamatan kita. Bukan keseragaman yang kita cari, tetapi keotentikan pengalaman masing-masing” (Hal 15).

Penyair kelahiran Medan, 26 Juli 1922, ini ternyata merupakan sosok yang selalu mencari tentang makna kehidupan secara individual. Dalam sebuah esai berjudul “Membuat Sajak, Melihat Lukisan”; menurut Arief Budiman, Chairil Anwar seolah memaklumatkan bahwa ia siap ditelaah dari pelbagai sisi mengenai sajak yang ditulisnya. Kata Chairil; Untuk dapat memahami karya seni, utamanya puisi, maka kita harus menangkap ‘pokok-nya terlebih dahulu, jangan hanya menilai dengan perkakas bahasa saja” (hal:46).

Chairil menjadi bernilai, pada akhirnya, karena ia mampu menggambarkan kejiwaan manusia dalam karyanya. Ia tak lagi menyoal pakem puisi sebagaimana ‘diagung-agungkan oleh para penyair Pujangga Baru.

Chairil adalah pribadi yang retak, namun adakah diantara kita yang tak retak secara kepribadian? Manusia, melalui keretakan dalam pribadinya, berusaha mencari segala kemungkinan yang bisa dilalui dalam hidup ini (hal:57-59). Chairil meretakkan kepribadiannya dengan mula-mula bertanya tentang kematian dalam puisi yang pertamakali ditulisnya, Nisan (Oktober 1942). Ia mempersoalkan neneknya yang ridha menghadapi kematian (hal:19-20). Dan ia menggugat kematian yang begitu angkuh melaksanakan tugasnya: Tak kutahu setinggi itu diatas debu/dan duka mahatuan bertahta.

Ia memilih mempersoalkan hidup. Merenung dan menuliskannya dalam puisi. Hingga ia pun menatap kehidupan sebagai sebuah misteri.

Segala yang kita lakukan seolah sia-sia sebab kematian bisa datang menyambar kapan sajatak tentu tempat dan waktu. Maka pada Desember 1942 ia menuliskan lagi sebuah puisi berjudul Penghidupan : Lautan maha dalam/mukul dentur selama/nguji pematang kita/hingga hancur remuk redam/Kurnia Bahagia/kecil setumpuk/sia-sia dilindung, sia-sia dipupuk.

Sang Ahasveros

Tahun-tahun awal Chairil menulis puisi adalah momentum mencari kemerdekaan sebagai pribadi. Ia mempersoalkan pula ikatan dalam pelbagai bentuknyakeluarga, agama dan tentu saja, Tuhan. Ia tidak membunuh diri walau begitu pesimistis dengan hidup. Ia memilih jadi Ahasveros; hidup mengembara. Tentu saja dibarengi dengan makin sulit kehidupan yang dijalaninya. Chairil jatuh miskin ketika memilih pergi dari Medan untuk ikut ibunya karena sang bapak menikah lagi. Ia hidup menggelandang di Jakarta setelah ibunya makin sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Sejumlah puisi yang ditulis pada awal masa kepenyairannya memperlihatkan betapa intens ia mengkhidmati hidup dan dunia sekelilingnya. Jika nada pemberontakan selalu saja nampak dalam puisi Chairil, tentu saja karena pada masa-masa itu (tahun 1942), negeri ini tengah sangat bergejolak. Kedudukan Belanda diujung kehancuran dan Jepang makin mendekati nusantara. Ada kesempatan Indonesia merdeka. 
Chairil berada di Batavia dan secara intens melihat hal itu. Inilah bentuk pengaruh lingkungan pada diri manusia. Pandangan ini tidak termaktub untuk diulas dengan baik oleh Arief Budiman. Padahal ia sendiri memaklumatkan, karya sastra merupakan realita lingkungan yang dipahami manusia.

Walau begitu, Arief Budiman juga mengajukan data mengenai hidup Chairil yang cukup komprehensif untuk menganalisa karyanya. Ada pengakuan Sjamsulridwan yang cenderung positif bagi penilaian jatidiri Chairil. Menurutnya, Chairil adalah sosok yang pemberani, keras, tak mau mengalah, agak tinggi hati walau tetap saja gaul dan memiliki rasa ingin tahu luarbiasa besar. Bahkan, ...kalau ia sudah membaca buku maka buku itu dibacanya dari malam sampai menjelang pagi., sebagaimana dikutip Arief dari pengakuan HB Jassin (hal:119).

Sementara sisi negatif Chairil diambil dari pengakuan Soehartosahabat Chairil sejak kecil yang kemudian berpisah dan kembali bertemu di Jakarta. Soeharto adalah seorang seniman, pelukis. Jika Sjamsulridwan mengatakan Chairil sosok brilian di sekolah, Soeharto mengatakan sebaliknya. Chairil Anwar terbilang memiliki otak pas-pasan. Prestasinya tidak terlalu baik, Chairil memang menonjol pengetahuannya tentang sastra. Namun ia, masih menurut Soeharto, tidak pernah menulis karya sastra semasa di bangku sekolah.

Anotasi

Arief Budiman dengan cukup baik menganalisa sejumlah puisi Chairil bertema agama dan Tuhan (hal:49-54). Menyitir pendapat Paul Tillich mengenai agama dan religiusitas, Arief Budiman nampaknya begitu dalam menyelami pribadi Chairil. Bagi Tillich, seorang yang religius adalah mereka yang mencoba mengerti hidup ini melampaui batas-batas lahiriah.

Chairil Anwar memilih untuk menolak menyerah pada agama.  Ini tersirat dan tersurat dalam puisi Di Mesjid (1943). Puisinya bertema agama dan Tuhan yang terkenal tentu saja Doa (13 November 1943). Melalui puisi ini, Arief Budiman menyatakan bahwa Chairil sudah menyerah; ia tak lagi menyoalkan agama. Sebab tanpa Tuhan, Chairil akan remuk dan hilang bentuk. Binatang jalang itu sudah mengetuk di pintu Tuhan dan tidak bisa berpaling. Tetapi, nampaknya Arief Budiman lupa ada anotasi pada puisi tersebut, yaitu kepada pemeluk teguh.

Anotasi itu, menunjukkan bahwa Chairil belum menyerah untuk terus mempersoalkan agama dan Tuhan. Kita tahu bahwa satu hari sebelumnya (12 November 1943), ia menulis puisi yang menunjukkan kekaguman pada Isa. Puisi Doa bukan ditujukan untuk dirinya. Chairil masih terbawa rasa kagum pada sosok Isaseorang pemeluk teguh. Ia seolah masih ingin membuat karya yang mendokumentasikan sebuah kekaguman pada semua pemeluk agama yang teguh kepada Tuhan. Itulah makna anotasi dalam puisi Doa.

Satu hal, Chairil selalu tak pernah merasa berada di posisi status-quo, kondisi mapan. Mungkin ini akibat dari kondisi sosiologis yang dihadapinya sangat tak nyaman secara ekonomi. Ia senantiasa berada dalam krisis, dari itu ia selalu mencari makna dari tiap kejadian besar dalam hidupnya. Tak heran bila dalam puisi Sorga (15 Februari 1947) ia kembali kembali mempersolakan agama dan Tuhan serta eksistensi surga.

Buku ini adalah bentuk bukti dari tesis Chairil tentang puisi. Chairil pernah berkata bahwa Sebuah sajak yang menjadi adalah suatu dunia. Ia menghasilkan karya yang bisa kita pahami secara beragam laiknya isi dunia. Sebuah kearifan ditunjukkan oleh Arif Budiman di awal buku ini tentang otentisitas pengamatan antara karya dan pembaca. Seribu orang yang membaca karya Chairil Anwar, niscaya akan muncul lebih dari seribu tafsir. Inilah kiranya hakekat kemanusiaan yang ditawarkan Chairil melalui karyanya dan Arief Budiman melalui analisanya.(*)

(Ditayangkan oleh Harian Surya pada Kolom Pustaka, 30 September 2007)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D. "Darimana?" Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok. Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.