Langsung ke konten utama

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D.

"Darimana?"

Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok.

Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.


Oh, senyumnya mengembang.

"Kalau mau merokok disini juga nggak apa-apa," ucapnya.

Aku mengiyakan saja ucapannya sembari meluruskan kaki dan menegakkan botol air milikku yang jatuh ke arah perempuan itu.

"Kuatir ganggu, Mbak, kalau saya merokok disini,” ucapku kemudian.

Dia mengaku bahwa ia melihatku berdiri menghisap rokok di sambungan gerbong. 

"Rasanya kok nggak adil ya," jelasnya. “Padahal, saya juga merokok disini.”

Aku cuma tersenyum kecil. Lalu kami terdiam.
Perempuan itu kembali memandang jendela. Kali ini kakinya dilipat dengan paha menempel ke dada. Lewat sudut mataku, aku mengintip rambutnya yang panjang melewati bahu. Hitam dan lurus. Harga tiket kereta yang kutumpangi agaknya tak bisa mencukupi biaya perawatan rambutnya.

Gerak kereta yang berangkat pukul lima sore itu kian kencang. Gesekan roda dan rel makin memekakkan telinga. Suara obrolan yang tadinya mendominasi bunyi di gerbong mulai meredup. Tinggal beberapa orang saja yang masih kuat berbincang.

Perempuan itu menoleh ke arahku.
"Nggak tidur, Mas?"

"Masih susah, Mbak," jawabku dengan suara agak keras. "Nanti, kalau sudah sampai Cirebon, baru tidur."

"Memang situ mau kemana?"

"Ke Jember."

"Loh, tapi kan kereta ini cuma sampai Surabaya," ucapnya. "Nanti naik bis ke Jember?"

"Nggak. Naik kereta yang jam 9 pagi."

Kemudian, aku lebih banyak menjelaskan kereta apa saja yang berangkat menuju Jember dari Stasiun Gubeng, Surabaya.

"Saya dari Lumajang." Ucapan perempuan itu benar-benar mengagetkanku. Seolah sia-sia semua penjelasanku tadi.

Lumajang dan Jember hanya berjarak satu jam perjalanan. Kalau naik kereta dari Surabaya menuju Jember, pastilah akan melewati Lumajang. Apa dia hanya pura-pura tidak tahu ketika mendengar penjelasanku? Tapi, tadi dia benar-benar menyimak semua perkataanku. Bahkan, minta diulang ketika suaraku tak terdengar jelas.

"Mbak baru sekali ini naik kereta?"

"Iya."

Tidak mungkin, pikirku. Aku benar-benar merasa tengah dibikin bodoh olehnya. Jalur kereta telah membelah pulau Jawa sejak Belanda berkuasa. Mungkin saja, seseorang di Pulau Jawa tak pernah naik kereta eksekutif yang kecepatannya tinggi dan berpendingin di dalamnya. Tapi, masih ada kereta ekonomi. Masa perempuan itu tak pernah naik kereta ekonomi? Hatiku bergejolak, tak nyaman dengan obrolan ini.

"Saya kabur dari rumah sejak umur 15, Mas."

Suara perempuan itu keras, mungkin agar tak kalah dengan deru kereta yang kian bising. Aku terdiam, berusaha menyimak tiap kata yang keluar dari mulutnya.

Seorang kawan, cerita perempuan itu, mengajaknya pergi ke Batam.

"Bapak saya ingin menikahkan saya dengan anak pedagang beras di kampung. Saya tidak mau. Saya ingin sekolah di SMA. Tapi, Bapak bilang, perempuan nggak perlu sekolah tinggi. Lulus SMP sudah bagus."

Mulutku tiba-tiba terkunci. Mataku menatap lekat wajahnya. Sementara telingaku konsentrasi menangkap semua ucapannya.

"Saya ke Batam naik bis. Kerja di sana sekitar 6 bulan. Terus ada tawaran pergi ke Taiwan."

"Terus, Mbak, berangkat ke Taiwan?"

"Ya," jawabnya sambil menganggukan kepala berulang kali. "Saya pingin pergi jauh dari rumah, Mas.”

"Selama ini, kalau pulang kampung naik apa?" Aku masih belum percaya kalau perempuan itu tak pernah naik kereta api.

Dia tertawa kecil. Kemudian mengubah posisi duduknya berhadap-hadapan denganku.
"Mas mungkin nggak percaya," dia memulai penjelasan. "Jangankan pulang kampung, saya baru sekali ini pulang ke Indonesia."

Mulutku ternganga. Mataku serasa mau copot saking tak percaya dengan ucapan perempuan itu.

"Beneran! Saya belum pernah pulang ke Lumajang.” Dia berusaha meyakinkanku dengan sangat akrab. Kemudian dia tersenyum.

Dia mengeluarkan sebungkus rokok. Mengambilnya sebatang, kemudian menyodorkan bungkusan itu kepadaku.

"Saya ada, Mbak," kataku sambil mengeluarkan bungkus rokok yang telah peyot dari kantung jaketku.

Ting. Api dari korek mulai membakar ujung rokoknya. Korek yang bagus, pikirku.

Perbincangan kian akrab. Kadang tawa kecil menyelingi obrolan kami.

Ketika akan berangkat ke Taiwan, kata perempuan itu, dia tak memegang dokumen yang dibutuhkan untuk mengurus paspor dan visa. Beruntung, seorang teman bersedia membikinkan KTP, Kartu Keluarga dan dokumen lainnya hingga ia bisa pergi ke Taiwan dengan mudah. Bahkan, temannya juga membayar ongkos perjalanan ke luar negeri itu.

"Dia betul-betul baik, Mas," ucap perempuan itu.

"Apa teman Mbak juga pergi ke Taiwan?"

"Nggak. Tapi dia pernah dua tahun kerja di sana,” terangnya. "Saya dapet banyak cerita soal Taiwan dari dia. Jadi, saya berani pergi kesana."

Ada tanya yang lindap di hatiku. Benarkah masih ada orang yang benar-benar tak berharap balasan dari segala hal yang telah dilakukannya untuk membantu orang lain? Tiba-tiba, ingatanku terantuk pada cerita tentang penjualan perempuan ke luar negeri yang sering menghias berita di televisi. Perempuan-perempuan itu diiming-imingi dengan kalimat manis dari para tengkulak yang berkata “pergi ke luar negeri gratis” dan “penghasilan tinggi di negeri orang. 
Nyatanya, tak ada yang gratis untuk mereka. Para tengkulak itu beroleh uang yang lebih banyak daripada biaya yang mereka keluarkan. Bahkan, para perempuan itu harus menjadikan tubuhnya seperti ladang yang boleh didatangi siapa pun agar bisa mengumpulkan real, won, dolar atau ringgit. Perempuan yang menjadi korban mulut manis para tengkulak itu adalah bagian kecil dari manusia yang benar-benar merasakan pameo tak ada makan siang gratis di dunia ini.

Lantas, apakah perempuan yang duduk di sebelahku benar-benar merasakan makan siang gratis dari temannya?

Ia terlihat riang sekali bercerita tentang indahnya tanah Taiwan. Kami tertawa sangat keras seusai ia bercerita ketika belajar makan menggunakan sumpit. Aku melihat tak ada kekecewaan yang menggurat di wajahnya.

Kekecewaan mulai menampakkan lekukan di wajahnya tatkala ia mengenang kepergian dari rumah. Sebuah tindakan yang nekad, katanya. Tapi itu harus dilakukan demi menolak pernikahan yang dipaksakan ayahnya.

"Saya pernah menonton film Indonesia waktu di Taiwan,” ucapnya. "Film itu loh, Mas, yang tentang anak SMA."

"Yang maen siapa, Mbak?"

"Haduh. Lupa, Mas. Pokoknya judulnya ada cintanya gitu."

"Oh, judulnya Ada Apa Dengan Cinta?"

"Iya, mungkin, Mas," jawabnya ragu. "Saya nggak nonton sampai selesai sih. Iri lihat bintang filmnya pakai baju SMA."

Sejak itu, terangnya, jika ada teman yang mengajaknya nonton film Indonesia, ia selalu menanyakan tema film itu terlebih dahulu. "Kalau tentang anak SMA, saya nggak mau,” ucapnya ringan, kemudian tersenyum.

“Seharusnya,” suaranya mulai terasa lirih di telingaku. "Saya juga bisa pakai seragam SMA. Ijazah SMA juga lebih laku ketimbang SMP. Kalau nggak bisa kuliah, saya tetep bisa kerja kantoran ya, Mas, kalau punya ijazah SMA. Nggak harus kerja di Taiwan.”

“Memang, Mbak, kerja apa di sana?”

"Eh...kerja," ia terbata-bata. "Kerja...jadi...pelayan restoran, Mas."

Batinku berdesir. Seolah ada rintangan yang melintas di hadapan kami. Walau air mukanya tak berubah, aku merasakan ada kegalauan yang menyelubungi hatinya.

Aku segera mengambil sebatang rokok dan pura-pura tak bisa menyalakan korek. Kupinjam korek perempuan itu.

"Wah, bagus ya koreknya," ucapku sembari mengembalikan koreknya.

"Korek murahan, Mas," sahutnya.

Lalu kami berbincang kembali. Ia berkata bahwa ayahnya sebenarnya orang yang baik.

"Memukul saya sekali saja, tak pernah," jelasnya. "Makanya, saya kaget ketika dipaksa nikah dengan Iwan, anak Pak Rosyid yang punya toko beras."

"Kenapa dipaksa nikah?"

"Nggak tahulah, Mas," jawabnya sembari mengangkat bahu.

Terjebak hutangkah? Atau pemenuhan janji sesama orangtua di masa lalu?
Aku tak sanggup memberikan pilihan alasan pernikahan paksa itu kepadanya.

Ia bercerita bahwa sejak kepergiannya dari rumah, satu kali pun ia belum pernah mengirim kabar kepada keluarganya.
"Jadi, sudah 15 tahun, saya kangen rumah," ucapnya.

Oh, lima belas tahun! Aku tak tahu, sudah sebesar apa rindu yang mengendap di hati perempuan itu.

"Tapi kan, sekarang Mbak sudah pulang. Bisa bikin usaha dari hasil kerja selama di Taiwan," ucapku menghibur.

"Apa orang rumah masih mau terima saya," suaranya terdengar pasrah.

"Ya pasti, Mbak," kataku meyakinkan dirinya. "Anak bakal selamanya jadi anak. Pasti orangtua bahagia lihat Mbak pulang."

"Ya, Mas, semoga," sahutnya. "Saya sebenarnya nggak berani pulang ke rumah. Selain kuatir tidak diterima lagi sama orang rumah, saya juga nggak ngerti jalan. Untung teman saya yang dari Bandung pingin pulang. Saya ikut dia saja.”

"Bener kan, Mas, lanjutnya, dari Surabaya ada kereta yang ke Lumajang?"

"Ya, nanti kita bareng aja, Mbak. Kereta yang ke Jember kan lewat Lumajang.”

Air mukanya mulai menampakkan ketenangan. Ia kembali bercerita tentang Taiwan kepadaku. Tapi pikiranku melayang ke segala penjuru memori yang ada di otakku.

Aku teringat Mbak Suliyah, tetanggaku yang menjadi TKW di Arab Saudi, yang pulang kampung dengan sumringah karena sukses bekerja di luar negeri. Majikannya, menurut Mbak Suliyah, sangat baik. Gaji tak pernah dibayar telat, ia tak sekali pun merasakan perlakuan kasarapalagi yang tak senonohdari majikannya, bahkan ia bisa naik haji karena dibiayai sang majikan.

Ingatan tentang cerita Mbak Suliyah berebut tempat di otakku dengan berita pahit tentang TKW di luar negeri. Penyiksaan, pemerkosaan, kerja tak dibayar, hingga menghuni tempat pelesiran syahwat kerap menjadi berita buruk yang kuketahui dari koran dan televisi.

Apakah perempuan yang semalam suntuk berbincang denganku merasakan hujan emas di negeri orang atau justru diguyur batu koral di luar negeri? Aku tak tahu. Aku tak berani menanyakan hal itu. Aku kuatir membuatnya tak jenak bertukar cerita denganku.

Kami terus mengobrol hingga di stasiun Gubeng dan di dalam kereta yang berangkat pukul 9 pagi menuju Jember.

Ketika kutanya, selain kangen, apa yang membuatnya ingin pulang?

"Mau mengubah nasib, Mas," jawab perempuan itu. Ringan, namun diucapkannya dengan mantap.

Wajah perempuan itu menyembulkan kebahagiaan ketika kuberitahu bahwa kereta sudah tiba di stasiun Lumajang. Aku membantunya mengangkat dua koper besar saat turun dari kereta.

"Saya langsung naik lagi ya, Mbak."

"Oh iya, terima kasih, Mas.”

Ketika kakiku mulai melewati pintu kereta, perempuan itu tiba-tiba memanggilku.

"Mas, korek ini buat Mas saja."

"Jangan, Mbak. Nggak perlu repot."

"Nggak apa. Saya mau berhenti merokok, Mas.”

Aku kembali duduk di bangku kereta dengan pikiran tentang perempuan itu yang belum selesai berkecamuk. Kupandangi korek pemberiannya sembari berpikir; sudah berapa lama benda ini menemaninya, menyalakan rokoknya, bahkan membakar semangat perempuan itu di negeri orang.

Kenapa perempuan itu justru ingin mengubah nasib di negeri sendiri setelah bertahun-tahun merantau di luar negeri? Entahlah. Aku hanya tahu, ada begitu banyak pertanyaan yang tak kuasa kulontarkan kepadanya sepanjang obrolan kami.(*)

Seputaran Pasar Cendrawasih, 15-19 Maret 2010

(Ditayangkan oleh Harian Surabaya Post)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.