Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerpen

Malang

 /1/ Hujan Aku kembali berdiri menatapnya. Tingkat dua dari bangunan ini ialah saksi pembicaraan yang selalu terjadi ketika dia datang. Ia memang tak berkata-kata. Akulah yang terlalu sering meneriakinya; "Ayo, beri aku yang lebih dari ini." Namun, ia seperti tak pernah lelah untuk diam. Butir-butir air yang kutatap hanya kian menegaskan perasaanku saja. Untuk itulah, aku senang berbicara dengan hujan. Dari gedung berlantai dua ini, aku bisa sangat puas menatap sebuah kejatuhan. Mataku bagai kamera yang menangkap suatu objek. Satu butir air hujan itu akan kulihat sampai jatuh. Kalau hujan baru turun, jatuhnya butiran air itu bagai berdebum menebaskan debu di tanah. “Uh...”, mulutku sering tiada sengaja berucap, “sakit sekali kejatuhan itu”. Lain hal jika tanah telah becek; tanda hujan bukan lagi sedang menyapa tapi telah menusuk-nusuk tanah. Butiran hujan yang jatuh seperti mengusir kawan-kawannya yang telah lebih dulu sampai di tanah. Seolah butiran itu berkata

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D. "Darimana?" Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok. Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.

Mun

AKU harus menuliskan cerita ini, Mun. Tapi bukan untukmu. Kau tahu sebabnya, Mun. Ah, jangan-jangan kau sudah lupa. Baiklah, aku ulang lagi perkataan itu untuk menyegarkan ingatanmu. Mun, kisah tentang seseorang bukanlah untuk orang itu. Kisah itu lahir dan hidup di dalam peradaban untuk orang lain yang belum tentu kenal dengan orang yang menjadi pokok cerita. Kini, aku duduk menghadap layar komputer sambil sesekali mengisap rokok untuk menulis cerita tentang dirimu. Apakah kau boleh marah setelah membaca cerita ini? Tentu boleh, Mun. Itu sepenuhnya menjadi hakmu. Tetapi, aku sudah bilang di awal, cerita yang kulahirkan ini bukan untukmu. Jadi, sepatutnya, kau memang tak perlu marah. Persoalannya, bisakah kau marah kepadaku hanya karena cerita ini, setelah segala macam dentuman berulang kali pernah kita rasakan bersama di masa lalu?

Jalan Bapak

Rokok ke tujuh yang saya hisap belum habis. Obrolan tetap hangat, tidak dingin seperti kopi yang ada dihadapan saya. Itulah nikmatnya melakukan ritual cangkruk. Berbincang dengan tema dan waktu tanpa batas di sebuah warung kopi adalah suatu kebiasaan yang tak mungkin lewat dalam keseharian saya. Ya, ada juga yang bilang cangkruk hanya membuang waktu. Atau, ada pula seorang dosen yang mengatakan bahwa; Cangkruk itu hanya dilakukan oleh mereka yang malas dan masih bermental budak...”. Oiya...juga mereka yang hidup tanpa tujuan, lanjut dosen itu dalam sebuah kelas pada masa awal saya kuliah.