Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2019

Malang

 /1/ Hujan Aku kembali berdiri menatapnya. Tingkat dua dari bangunan ini ialah saksi pembicaraan yang selalu terjadi ketika dia datang. Ia memang tak berkata-kata. Akulah yang terlalu sering meneriakinya; "Ayo, beri aku yang lebih dari ini." Namun, ia seperti tak pernah lelah untuk diam. Butir-butir air yang kutatap hanya kian menegaskan perasaanku saja. Untuk itulah, aku senang berbicara dengan hujan. Dari gedung berlantai dua ini, aku bisa sangat puas menatap sebuah kejatuhan. Mataku bagai kamera yang menangkap suatu objek. Satu butir air hujan itu akan kulihat sampai jatuh. Kalau hujan baru turun, jatuhnya butiran air itu bagai berdebum menebaskan debu di tanah. “Uh...”, mulutku sering tiada sengaja berucap, “sakit sekali kejatuhan itu”. Lain hal jika tanah telah becek; tanda hujan bukan lagi sedang menyapa tapi telah menusuk-nusuk tanah. Butiran hujan yang jatuh seperti mengusir kawan-kawannya yang telah lebih dulu sampai di tanah. Seolah butiran itu berkata

Dangdut Kata-Kata ala Putu Wijaya

Kalau kehidupan ditamsilkan sebagai lautan, maka yakinlah ombaknya tak akan pernah tuntas menggoyang perahu kita. Tiba-tiba perahu oleng ke kiri atau miring ke arah kanan. Namun tak selamanya kondisi perahu yang mabuk karena ombak itu bikin kita mual dan muak. Perahu yang digoyang ombak itu kadang menghadirkan gelak tawa dan kian menghidupkan nyawa kita. Yang irasional tak jarang tumpang-tindih dengan wilayah rasional dalam kehidupan ini. Perilaku yang lumrah kadang hanya berbeda satu milimeter dengan kelakuan yang ganjil. Itulah pernak-pernik hidup yang senantiasa tidak berada di jalur serba lurus ini. Putu Wijaya, dalam pandangan saya, adalah sosok yang selalu mengusahakan terangkumnya rupa-rupa tanda kehidupan dalam karyanya. Kewajaran, keanehan, kegembiraan, kemurungan bisa muncul secara bergantian atau bersama-sama dalam tulisan Putu Wijaya. Putu Wijaya menyebut karyanya sebagai teror mental. Pembaca dibuat seolah tidak aman melalui cerita yang tiba-tiba menukik kemudian

Naskah 'Yang Lain' dari Pidi Baiq

Judul Buku : Drunken Monster; Catatan Harian Pidi Baiq Penulis : H. Pidi Baiq Kata Pengantar : Prof. Bambang Sugiharto Penerbit : DAR! Mizan, Bandung Tahun Terbit : I, Januari 2008 Tebal Buku : 204 Halaman Nomor ISBN : 978-979-752-832-4 Harga : Rp. 29.000,00 Saya sengaja memberi tanda kutip pada gabungan kata yang dan lain dalam judul diatas. Tanda kutip itu menunjuk kepada (setidaknya) dua makna. Penulis buku iniyang juga dikenal sebagai akademikus, komikus dan musikus bercerita bahwa ia ditanya oleh Doel Wahab (editor Penerbit Mizan) soal naskah buku berjudul Ayat-Ayat Sompral yang sedang dikerjakannya. Naskah itu ternyata belum selesai. "Maka," ungkap Pidi Baiq, "saya tawarkan kepada Bang Doel, bagaimana untuk sementara naskah saya yang lain dulu saja yang diterbitkan?”(hal.15). Jadi, buku Drunken Monster bukanlah naskah yang sedari mula telah dinubuatkan untuk diterbitkan oleh Pidi Baiq. Sebabnya yaitu, Drunken Monster merupakan kumpula

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D. "Darimana?" Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok. Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.

Berkenalan Lagi dengan Chairil Anwar

Judul Buku : Chairil Anwar; Sebuah Pertemuan Penulis : Arief Budiman Tahun Terbit : 2007 Tebal Buku : 127 halaman Penerbit : Penerbit Wacana Bangsa Nomor ISBN : 979-23-9918-6 Rasanya, orang Indonesia—yang hanya menempuh pendidikan dasar sekalipun—pernah mendengar nama Chairil Anwar. Hanya mendengar, sebab perkenalan butuh ruang yang lebih luas. Lewat buku ini, Arief Budiman menuturkan Chairil Anwar melampaui sebuah perkenalan dan pertemuan, yaitu penyelaman. Buku ini, tak hanya akan terbaca sebagai sebuah usaha mahasiswa psikologi yang melongok jiwa seorang penyair. Lebih jauh, Arief Budiman mengajak menerawang jiwa sendiri melalui buku ini.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.

Mun

AKU harus menuliskan cerita ini, Mun. Tapi bukan untukmu. Kau tahu sebabnya, Mun. Ah, jangan-jangan kau sudah lupa. Baiklah, aku ulang lagi perkataan itu untuk menyegarkan ingatanmu. Mun, kisah tentang seseorang bukanlah untuk orang itu. Kisah itu lahir dan hidup di dalam peradaban untuk orang lain yang belum tentu kenal dengan orang yang menjadi pokok cerita. Kini, aku duduk menghadap layar komputer sambil sesekali mengisap rokok untuk menulis cerita tentang dirimu. Apakah kau boleh marah setelah membaca cerita ini? Tentu boleh, Mun. Itu sepenuhnya menjadi hakmu. Tetapi, aku sudah bilang di awal, cerita yang kulahirkan ini bukan untukmu. Jadi, sepatutnya, kau memang tak perlu marah. Persoalannya, bisakah kau marah kepadaku hanya karena cerita ini, setelah segala macam dentuman berulang kali pernah kita rasakan bersama di masa lalu?

Jalan Bapak

Rokok ke tujuh yang saya hisap belum habis. Obrolan tetap hangat, tidak dingin seperti kopi yang ada dihadapan saya. Itulah nikmatnya melakukan ritual cangkruk. Berbincang dengan tema dan waktu tanpa batas di sebuah warung kopi adalah suatu kebiasaan yang tak mungkin lewat dalam keseharian saya. Ya, ada juga yang bilang cangkruk hanya membuang waktu. Atau, ada pula seorang dosen yang mengatakan bahwa; Cangkruk itu hanya dilakukan oleh mereka yang malas dan masih bermental budak...”. Oiya...juga mereka yang hidup tanpa tujuan, lanjut dosen itu dalam sebuah kelas pada masa awal saya kuliah.