Langsung ke konten utama

Mengembalikan Radikalisme ke Rumah Bahasa


Radikalisme sebagai bagian dari 'keluarga besar' bahasa telah pergi jauh dari rumahnya. Radikalisme telah membuat pusing, tidak hanya pejabat, namun juga warga negara Indonesia. Warga negara makin bingung dengan munculnya frasa-frasa baru yang mengikatkan diri dengan radikalisme. Misalnya "terpapar radikalisme", "ormas radikal", dan "radikalisme agama". 

Mari kita paksa radikalisme kembali ke rumah asalnya, yakni rumah bahasa, agar kita menemukan kejelasan sehingga tak melulu berputar dalam kebingungan. Rumah bagi sebuah bahasa adalah kamus yang berisi kata-kata sebagai anggota keluarga. 

Radikalisme tidak akan menjadi sebuah kata tanpa adanya kata "radikal". Radikal masuk ke dalam jenis kata sifat yang berfungsi untuk menjelaskan taraf dari suatu tindakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memberikan dua makna radikal yaitu, radikal (1) memiliki arti (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), (2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), dan (3) maju dalam berpikir atau bertindak. 

Sedangkan arti dari radikal yang kedua adalah gugus atom yang dapat masuk ke dalam berbagai reaksi sebagai satu kesatuan, yang bereaksi seakan-akan satu unsur saja. 

Dua dari tiga arti radikal (1) dikategorikan sebagai kata yang terkait dengan politik, sedangkan arti dari radikal (2) sangat terang terkait dengan kimia. KBBI tidak memberikan arti dari kata radikal yang langsung terhubung dengan agama.

Seandainya seorang presiden berkata, "Kita harus melakukan perubahan radikal dalam birokrasi agar pelayanan kepada publik tidak bertele-tele," maka sang presiden sedang menggunakan arti dari kata radikal "amat keras menuntut perubahan." 

Lain waktu ada seorang anggota legislatif berbicara di televisi, "Presiden harus secepatnya mundur dari jabatannya agar perubahan radikal bisa terwujud di negeri ini." Nah, si legislator tersebut sedang menggunakan semua arti dari kata radikal. 

Kedua contoh kalimat itu sama-sama berafiliasi kepada politik. Namun kalimat sang presiden tentu bikin adem masyarakat yang kerap bermuka-muka dengan lambatnya proses birokrasi. Sedangkan kalimat si legislator akan membingungkan khalayak karena undang-undang "di negeri ini" yang dia maksud mengatur tentang pergantian presiden melalui pemilihan umum.

Sebuah kata tidak pernah netral jika sudah berada di jalur komunikasi massal. Ada relasi kuasa dan kehendak dari penuturnya. Kata telah berdandan ketika berada di luar rumahnya. Bahkan saking menor dan perlente, sebuah kata mampu menyembunyikan kesejatian arti. Sebagaimana manusia, kata menjadi apa adanya jika berada di dalam rumah. Kata bebas dari hiasan yang terbentuk dari relasi kuasa dan kehendak penutur.

"Mau ke mana, Mas?" tanya seorang istri yang heran melihat suaminya yang bercelana pendek dengan membawa sabit dan pacul.

"Mau melakukan perubahan radikal," jawab suami sembari berjalan ke luar rumah.

Si istri mengintip, beberapa saat kemudian, dari balik jendela ruang tamu. Dia melihat suaminya sedang merapikan rumput di halaman rumah.

Jawaban suami kepada istri adalah bentuk dari kegenitan dalam menggunakan kata radikal. Ya, memang benar bahwa ia sedang melakukan perubahan di halaman rumah. Tetapi radikal tidak memiliki arti yang terkait dengan tindakan si suami.

Kegenitan dalam berbahasa memiliki banyak tujuan. Jika penutur memahami arti dari sebuah kata namun menggunakannya tidak sesuai tempatnya, maka bisa saja dia sedang mencari sensasi atau bisa pula ia sedang menyederhanakan masalah yang sebenarnya rumit ke dalam satu kata. Mungkin juga si penutur tidak tahu arti yang sebenarnya dari suatu kata, namun karena ia mendengar kata itu setiap hari melalui berita di televisi maka ia mengucapkannya agar tampak keren.

Imbuhan akhiran –isme membuat kata radikal terkunci pada suatu arti yang memang berhubungan dengan suatu aliran. KBBI mencatat radikalisme memiliki tiga arti yaitu: (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Ketiga arti tersebut jelas mengikat erat-erat radikalisme dengan politik.

Usai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo, Menteri Mahfud MD berkomentar, "Kita bersepakat bahwa kita bicara radikalisme bukan menuju kelompok agama tertentu. Radikalisme ya radikalisme suatu kelompok atau paham yang ingin mengganti dasar dan ideologi negara dengan cara melawan aturan dan kemudian merusak cara berpikir generasi baru yang menyebabkan anak berpikiran bernegara seperti ini, berkonstitusi seperti ini salah," sebagaimana ditulis detikcom(31/10).

Arti dari radikalisme makin melebar, berdasarkan komentar Menteri Mahfud, yaitu ada peluang munculnya kerusakan pada cara berpikir generasi masa depan.

Sebenarnya jika pejabat dan warga negara Indonesia pasrah mengikuti arti kata radikalisme sesuai KBBI, maka tak perlu menyeruak resah dan gelisah. Radikalisme, sekali lagi, benar-benar terkait erat dengan politik perebutan kekuasaan yang menggunakan kekerasan dalam tempo yang singkat. Jadi, sepanjang sebuah tindakan tidak menemukan titik sesuai dengan empat indikator --terkait politik, kekuasaan, kekerasan, dan waktu yang cepat-- maka belum memenuhi syarat untuk disematkan gelar radikalisme.

Maka, frasa-frasa lain yang terikat dengan radikalisme akan mudah menemukan indikator makna. "Terpapar radikalisme" jelas merujuk kepada seseorang yang tidak mengingkari tindakan kelompok politik yang mengusahakan berubahnya ideologi negara dengan jalan kekerasan dalam waktu cepat. "Ormas radikal" pasti lekat dengan arti dari suatu kelompok yang menginginkan perubahan sistem politik dengan berbagai cara, termasuk kekerasan kalau memang perlu, dan waktu yang singkat. Sejarah Indonesia telah mencatat banyak sekali kelompok yang layak dimasukkan ke dalam ormas radikal.

"Radikalisme agama". Nah ini menarik. Sebagaimana saya singgung di atas, KBBI tidak mengaitkan arti dari kata radikalisme dengan agama, tetapi dengan politik. Maka, radikalisme agama mungkin cukup disebut radikalisme tanpa embel-embel agama. Saya khawatir dengan penambahan agama di belakang kata radikalisme bisa makin membuat runyam penanganan tindakan radikalisme di republik ini. Justru saya yakin bahwa agama memiliki peluang yang besar dan kuat sebagai modal sosial dalam menaklukkan tindakan radikalisme.

Radikalisme harus kembali ke rumah bahasa. Kita harus memahami arti kata ini dengan apa adanya agar kebingungan pejabat dan warga negara Indonesia bisa selesai. Masih banyak kebingungan lain yang harus dituntaskan, seperti kebingungan mencari pekerjaan dan lainnya.


Dipublikasikan oleh Detikcom pada 4 November 2019
Mengembalikan Radikalisme ke Rumah Bahasa

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D. "Darimana?" Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok. Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.