Langsung ke konten utama

Postingan

Jaket

Ia ingin sekali pergi dari sini. Menghilang dari cerita yang sedang engkau baca ini. Tapi itu tak mudah. Sama seperti keinginan lari dari kota tempat tubuhnya mendekam sekira sepuluh tahun ini. Kota yang dahulu dengan ramah menyambut kedatangannya. Dia ingat betul, satu-dua terlampau sedikit untuk menghitung senyuman penyambutan yang dilakukan kota itu padanya.

Mengubah Nasib

Kereta api malam Jayabaya Selatan mempertemukan kami. Tepatnya di gerbong 5, bangku 12 C dan 12 D. "Darimana?" Oh, dari situ, jawabku gugup sambil menunjuk bagian sambungan gerbong kereta, tempatku menghabiskan sebatang rokok. Aku sama sekali tak menduga, perempuan yang sejak roda kereta bergerak hanya terdiam memandang jendela melontarkan pertanyaan kepadaku.

Berkenalan Lagi dengan Chairil Anwar

Judul Buku : Chairil Anwar; Sebuah Pertemuan Penulis : Arief Budiman Tahun Terbit : 2007 Tebal Buku : 127 halaman Penerbit : Penerbit Wacana Bangsa Nomor ISBN : 979-23-9918-6 Rasanya, orang Indonesia—yang hanya menempuh pendidikan dasar sekalipun—pernah mendengar nama Chairil Anwar. Hanya mendengar, sebab perkenalan butuh ruang yang lebih luas. Lewat buku ini, Arief Budiman menuturkan Chairil Anwar melampaui sebuah perkenalan dan pertemuan, yaitu penyelaman. Buku ini, tak hanya akan terbaca sebagai sebuah usaha mahasiswa psikologi yang melongok jiwa seorang penyair. Lebih jauh, Arief Budiman mengajak menerawang jiwa sendiri melalui buku ini.

Ped

USAI mengantarkan pepaya sebanyak satu truk ke pasar, Mat Sodik bertemu dengan Mat Rifah. Ajakan Mat Rifah untuk singgah sebentar di warung tak ditampik oleh Mat Sodik pada sore itu. "Aku benar-benar minta tolong," ucapan Mat Rifah itu kian membuat hati Mat Sodik tak tega. Bagaimana mungkin ia tak akan membantu teman sepermainan yang ia kenal mulai umur lima tahun. Mereka berpisah karena Mat Rifah memutuskan untuk merantau, menimba ilmu di tanah seberang.

Mun

AKU harus menuliskan cerita ini, Mun. Tapi bukan untukmu. Kau tahu sebabnya, Mun. Ah, jangan-jangan kau sudah lupa. Baiklah, aku ulang lagi perkataan itu untuk menyegarkan ingatanmu. Mun, kisah tentang seseorang bukanlah untuk orang itu. Kisah itu lahir dan hidup di dalam peradaban untuk orang lain yang belum tentu kenal dengan orang yang menjadi pokok cerita. Kini, aku duduk menghadap layar komputer sambil sesekali mengisap rokok untuk menulis cerita tentang dirimu. Apakah kau boleh marah setelah membaca cerita ini? Tentu boleh, Mun. Itu sepenuhnya menjadi hakmu. Tetapi, aku sudah bilang di awal, cerita yang kulahirkan ini bukan untukmu. Jadi, sepatutnya, kau memang tak perlu marah. Persoalannya, bisakah kau marah kepadaku hanya karena cerita ini, setelah segala macam dentuman berulang kali pernah kita rasakan bersama di masa lalu?